Friday, November 20, 2015

Mrapen: Terpesona Nyala Sang Api Abadi



Perpindahan tempat dinas papa membawa petualangan baru bagi saya, Agam dan Dian. Kali ini, kami semua bergerak menuju ke pinggiran Kabupaten Demak, tepat di wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Grobogan. Dari sana, saya kemudian mengambil alih kemudi mobil dan mengajak kedua teman menuju ke Desa Manggarmas demi menyaksikan fenomena alam api abadi yang mungkin hanya ada satu di Indonesia. 

Desa Manggarmas sendiri sudah masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Grobogan, tepatnya di bawah Kecamatan Godong. Tak sampai 10 menit saya berkendara, papan penunjuk "Api Abadi Mrapen" sudah terlihat di depan mata. Dalam Bahasa Jawa, mrapen dapat diartikan sebagai tempat perapian.

Saya pun membelokkan mobil dan memasuki jalan kecil menuju lokasi api abadi. Saya pikir lokasi api abadi ini akan berada di suatu kawasan yang terasing. Saya salah besar. Baru 200 meter melewati jalan kecil, kami sudah bisa menemukan area api abadi - tepat di tengah perkampungan penduduk!

Seorang lelaki petugas loket dengan cekatan mendekati mobil dan menyebutkan nominal sebesar Rp 5.000,00 sebagai ongkos memasuki lokasi api abadi. Saya tak begitu mengerti perhitungannya karena ketika di dalam, saya harus mengeluarkan Rp 3.000,00 lagi sebagai biaya parkir mobil.

"Serius ini tempatnya?", tanya Agam setengah tak percaya.

Saya mengiyakan pertanyaan itu. Keraguan yang disebabkan ekspektasi berlebihan ternyata tak hanya menimpa diri saya saja. Bayangan saya, lokasi api abadi bakalan berupa sesuatu yang spesial. Bagaimanapun ini menyangkut sesuatu yang abadi, sesuatu yang tak pernah padam, sesuatu yang tak lekang oleh waktu, Namun ternyata, tak selamanya sesuatu yang "wah" diperlakukan secara wah juga.

"Mending kita turun, dan lihat lebih dekat deh", tukas Dian yang langsung saya dan Agam setujui. 

Kami bertiga pun bergegas turun dari mobil dan berjalan ke arah sebuah panggung terbuka dengan ceruk tertutup bebatuan berada tepat di tengahnya. Pada dinding yang berdiri di satu sisi panggung, tertulis kata api abadi disana. 

Kami terdiam. Tak terlihat sama sekali api abadi di ceruk itu. Lantas, kemanakah sang api abadi? Kami bertiga hanya bisa saling pandang, kami sama-sama tak mengerti.

Ceruk api abadi dalam kondisi normal

Melihat tiga orang dewasa yang tampak kebingungan, tampaknya membuat iba seorang anak kecil yang berdiri di dekat panggung. Dia pun mendekati ceruk sembari meletakkan beberapa potong ranting dan sehelai daun kering. 

Anak kecil yang mengajari kami cara memanggil api abadi

Sejurus kemudian, wuss! Bak sihir, mendadak nyala api keluar dari dalam ceruk dan melahap potongan ranting dan daun yang ditaburkan oleh anak kecil tadi. Kami bertiga hanya bisa tertawa dan merutuki kebodohan kami.

Nyala api abadi telah menghangatkan hati kami dan menghapuskan segala keraguan yang ada. Kami dipenuhi rasa kagum. Kami memandang lekat-lekat nyala api abadi yang begitu kuat, hingga kemudian bersembunyi kembali di balik bebatuan ketika umpan daun kering telah sirna menjadi abu.

Agam dengan bersemangat segera pergi mencari dedaunan kering yang banyak tersebar di sekitaran kami. Setelah terkumpul banyak, kembali kami meletakkan daun-daun tersebut di atas batu dan wuss...api kembali melahap mereka.

Agam berburu dedaunan kering


Nyala sang api abadi!

Selain bisa melihat api abadi, ada dua hal lagi yang bisa kami saksikan disana. Pertama, kami bisa melihat watu bobot - sebuah batu seberat 20 kilogram yang dikeramatkan sampai-sampai harus diberi sesaji dan terkunci dalam ruangan tertutup. Konon, barang siapa yang berhasil mengangkat batu itu dengan tangan kosong maka keinginannya akan terkabul. Err, bagaimana mau mencoba mengangkat kalau batu itu dikunci di dalam ruangan?

Watu Bobot yang terkunci

Batu ini sepertinya keramat sekali ya

Hal kedua yang bisa kami lihat adalah Sendang Dudo - sebuah kolam berisikan air berwarna kuning keruh dan banyak gelembung-gelembung kecil yang muncul dari dasarnya. Seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahunan tampak mengambil air dari dalam sendang kemudian dimasukkan ke dalam botol bekas air mineral.

Sendang Dudo dan air kuning keruhnya


"Mau dipakai buat apa pak airnya?", rasa penasaran membuat saya memberanikan diri bertanya kepada lelaki itu.

Bapak teman kami mengobrol. Dia tengah
memasukkan air Sendang Dudo ke dalam botol.

"Oh, buat cuci-cuci aja mas. Air ini bagus buat menyembuhkan penyakit kulit", jawabnya dengan mantap. Saya terbelalak. Bagi saya, air itu terlalu keruh bila dipakai untuk membersihkan badan.

Dari mulut bapak itu pulalah akhirnya kami memperoleh pengetahuan dan sejarah soal api abadi. Katanya, api abadi bisa menyala pertama kali disebabkan oleh Sunan Kalijaga yang memukulkan tongkat ke dalam tanah.

Tambahnya lagi, mayoritas pusaka Kerajaan Demak dibuat di tempat ini. Jadi, besi dipanaskan di atas api abadi, ditempa di atas watu bobot, baru kemudian didinginkan memakai air dari Sendang Dudo.

Api abadi tak pernah padam, meski hujan deras datang mengguyur sekalipun. Kini, api abadi ini masih sering digunakkan dalam perayaan Waisak tahunan, serta Pekan Olahraga Nasional dimana api abadi akan di-relay menuju lokasi penyelenggaraan.


Sebuah sarana olahraga tengah dibangun Pemerintah
tepat di belakang area api abadi


Orang Indonesia mesti berbangga, Api Abadi Mrapen adalah satu dari sedikit api abadi yang terjadi secara alamiah di seluruh dunia. Menurut penelitian, hal ini disebabkan banyaknya endapan gas terutama methane yang terdapat di dalam tanah.

Harapan saya, semoga Pemerintah kelak bakal menata kawasan Api Abadi Mrapen dengan lebih apik. Sayang rasanya apabila sesuatu yang spesial hanya diperlakukan secara sederhana.

Dan, tetaplah menyala wahai api abadi. Siang itu, nyala apimu tak hanya membuat kami terpesona namun juga telah menghangatkan hati.


Terima kasih sudah berkunjung. Agam, Dian terima kasih sudah
menemani mengantar dinas Papa. Jangan kapok ya kalian.


Salam Kupu-Kupu ^^d

No comments:

Post a Comment